Senin, 01 Maret 2010

Sifat Al Nur Allah Swt (bagian 2)

Lebih lanjut berkenaan dengan beberapa ayat Quran yang saya rujuk pada Jumah lalu namun belum sempat diterangkan, keterangannya adalah sebagai berikut.
Nur adalah cahaya yang memancar; dan ada dua jenis; yakni, cahaya duniawi dan cahaya Akhirati.
Tetapi, nur cahaya duniawi pun juga ada dua macam; yang Pertama adalah yang dapat diyakini keberadaannya melalui kedalaman pandangan rohani, atau disebut juga Makul (menyangkut penggunaan akal); dan yang Kedua, adalah cahaya yang dapat diperoleh melalui hikmah; yakni sinar petunjuk yang terdapat di dalam tafsir, yakni, nur Al Qur’an.
Jenis cahaya lainnya ialah yang dapat dilihat pada benda-benda alam, yang disebut Mahsus (yakni, yang terkait dengan panca indera). Sinar cahaya ini terdapat di dalam matahari, bulan dan bintang-bintang.
Suatu contoh cahaya yang dapat dilihat dengan mata jasmani ialah seperti yang difirmankan Allah di dalam Surah Yunus ayat 6:
هُوَ الَّذِىْ جَعَلَ الشَّمْسَ ضِيَآءً وَّالْقَمَرَ نُوْرًا
‘Dia Yang menjadikan matahari mempunyai cahaya, dan bulan bersinar…’ (10:6).
Perhatikanlah, suku kata yang dipergunakan di dalam ayat ini untuk sinar matahari adalah dzia, sedangkan untuk bulan, nur, Setengah orang boleh jadi menjadi heran, mengapa berbeda. Kamus Bahasa Arab menerangkan, ini dikarenakan dzia lebih berpendar-pendar cahanya dibandingkan dengan nur. Dzia adalah sinar yang bercahaya dari benda itu sendiri, sedangkan nur adalah pantulan sinar yang berasal dari sumber yang lain. Akan tetapi khusus Allah Taala, Dia menyatakan;
اللّٰهُ نُوْرُ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ
‘Allah adalah Nur seluruh langit dan bumi…’ (Surah Al Nur ayat 36).
Penjelasan mengenai apa sebabnya Allah Taala sendiri menyatakan bahwa Dia adalah Nur, ialah dikarenakan Nur disini dipergunakan dalam pengertian dzia juga.
Allah Taala menyatakan mengenai diri Rasulullah Saw sebagai ‘sirajam munira’ [siraj artinya matahari atau pelita; dan munira artinya bersinar]. Yakni, maksudnya, beliau Saw adalah matahari yang bersinar terang, yang umat manusia hendaknya memperoleh faedah daripadanya, karena asal sinarnya pun dari Allah Swt juga. Huzur menerangkan, pendaran sinar dzia juga disebut nur.
Pancaran sinar kumala Allah Taala dapat disaksikan baik di alam jasmani maupun di alam rohani Pemahaman hakekat keberadaan alam semesta hanya dapat diperoleh melalui pemahaman dengan bantuan nur-Ilahi yang telah Dia karuniakan.
Suatu sumber daya pancaran yang menyebabkan sesuatu dapat menjadi terlihat, juga disebut nur. Allah Tala telah memerintahkan matahari, bulan dan segala sesuatu yang berada di alam semesta ini untuk berkhidmat kepada manusia. Namun orang yang atheist tak dapat melihat keberadaan Tuhan dalam sistem tata kerja alam semesta ini, meskipun sebenarnya mereka memperoleh berbagai macam faedah daripadanya berkat sifat Rahmaniyat-Nya. Sedangkan orang mukmin yang telah diberi karunia nur Qur’ani, dapat memperoleh faedah jasmani maupun rohani.
Di beberapa tempat, Allah Taala telah mengemukakan kedua jenis cahaya nur-Nya, sehingga umat manusia dapat mencari kesejahteraan bagi rohani maupun jasmani mereka.
Mengenai nur cahaya di Akhirat kelak, Al Qur’an menyatakan,
وَالَّذِيْنَ اٰمَنُوْا مَعَهٗ‌ۚ نُوْرُهُمْ يَسْعٰى بَيْنَ اَيْدِيْهِمْ sوَبِاَيْمَانِهِمْ يَقُوْلُوْنَ رَبَّنَاۤ اَتْمِمْ لَـنَا نُوْرَنَا
‘…Cahaya mereka akan berlari-lari di hadapan mereka dan di sebelah kanan mereka, mereka akan berkata, “Hai, Tuhan kami, sempurnakanlah bagi kami cahaya kami, dan maafkanlah kami…’(S. Al Tahrim : 9).
Selanjutnya Huzur menerangkan tafsir beberapa ayat Quran yang telah beliau tilawatkan pada Jumah yang lalu, ialah,
يٰۤاَهْلَ الْكِتٰبِ قَدْ جَآءَكُمْ رَسُوْلُـنَا يُبَيِّنُ لَـكُمْ كَثِيْرًا مِّمَّا كُنْتُمْ تُخْفُوْنَ مِنَ الْكِتٰبِ وَيَعْفُوْا عَنْ كَثِيْرٍ‌ ؕ قَدْ جَآءَكُمْ مِّنَ اللّٰهِ نُوْرٌ وَّكِتٰبٌ مُّبِيْنٌۙ
يَهْدِىْ بِهِ اللّٰهُ مَنِ اتَّبَعَ رِضْوٰنَهٗ سُبُلَ السَّلٰمِ وَيُخْرِجُهُمْ مِّنَ الظُّلُمٰتِ اِلَى النُّوْرِ بِاِذْنِهٖ وَيَهْدِيْهِمْ اِلٰى صِرٰطٍ مُّسْتَقِيْمٍ‏
‘Hai Ahlikitab, sesungguhnya telah datang kepada kamu Rasul Kami yang menjelaskan kepada kamu banyak dari apa yang telah kamu sembunyikan dari Kitab, dan ia memaafkan banyak dari kesalahanmu. Sesungguhnya telah datang kepadamu Nur dari Allah dan Kitab yang nyata. Dengan itu Allah menuntun orang-orang yang mengikuti keridhaan-Nya pada jalan-jalan keselamatan, dan mengeluarkan mereka dari kegelapan kepada cahaya dengan izin-Nya, dan menuntun mereka kepada jalan yang lurus. (S. Al Maidah : 16-17).
Kaum ahlikitab terdahulu telah mengubah atau menyembunyikan sebagian dari Kitab mereka. Sebagaimana yang difirmankan oleh Allah Taala, maka Rasulullah Saw pun menyajikan kembali berbagai ajaran yang telah dikorup tersebut sekaligus juga dengan berbagai ajaran syariat yang baru; sehingga terbukalah berbagai jalan besar yang dapat menghantarkan manusia kepada Tuhan mereka; jalan yang sesuai dengan keadaan alami manusia. Rasulullah Saw tidak condong ke Timur tak pula ke Barat; yakni, beliau menyajikan ajaran yang senantiasa mengambil jalan tengah.
Hadhrat Masih Mau'ud a.s. bersabda, para Nabiyullah diberi wahyu ajaran yang sesuai dengan keadaan umatnya. Musa a.s. diberi ajaran Syariat yang lugas dalam bentuk Kitab Taurat dikarenakan pembawaan beliau yang memang lugas dan keras. Sedangkan Isa a.s. berkepribadian halus dan kasih sayang, maka ajaran Kitab Injil pun penuh dengan kelemah-lembutan. Tetapi sifat Rasulullah Saw adalah pertengahan (moderat), yakni, tidak lembek tak pula terlalu keras. Melainkan penuh dengan hikmah kebijaksanaan, maka ajaran syariat yang diwahyukan kepada beliau pun dalam bentuk Al Qur’an Karim. Contohnya adalah sebagai berikut:
وَجَزٰٓؤُا سَيِّئَةٍ سَيِّئَةٌ مِّثْلُهَا‌ۚ فَمَنْ عَفَا وَاَصْلَحَ فَاَجْرُهٗ عَلَى اللّٰهِ‌ؕ اِنَّهٗ لَا يُحِبُّ الظّٰلِمِيْنَ
Dan pembalasan terhadap suatu keburukan adalah keburukan semisalnya, tetapi barangsiapa memaafkan dan memperbaiki, maka ganjarannya ada pada Allah...’ (S. Al Shura : 41).
Di dalam ajaran Islam, sesuatu hukuman senantiasa dikaitkan dengan maksud untuk perbaikan. Bila perbaikan dapat dicapai dengan cara memberi maaf, maka berikanlah itu. Akan tetapi, jika hanya bentuk hukuman yang dapat memperbaikinya, maka hukumlah yang setimpal dengan perbuatannya.
Inilah sebabnya, Rasul yang mengajarkan berbagai ajaran lama maupun baru ini dibekali dengan kitabullah yang disebut juga al-Kitabim-Mubin (Kitab yang nyata).
Adalah berkat nur pribadi yang dimiliki oleh Rasulullah Saw, yang mendapat julukan ‘sirajam munira’, sehingga nur Ilahi yang sampai kepada beliau pun menjadi lebih bersinar lagi. Dan sesuai dengan janji Ilahi dan juga nubuatan Rasulullah Saw, bagian terbesar nur beliau Saw tersebut dikaruniakan kembali kepada seorang wujud yang menyandang gelar sebagai Al Masih dan Al Mahdi, dan juga dikaruniai derajat rohani sebagai ‘nabi umati’. Ini dikarenakan siapapun yang menerima berkat dari kemuliaan status al-Khataman-Nabiyyin Rasulullah Saw, yang adalah juga ‘sirajam munira’, maka ia pun akan dipenuhi dengan nur cahaya Ilahi yang sama tersebut.
Rasulullah Saw adalah ummi, atau tak pandai baca tulis, namun beliau datang dengan nur cahaya Ilahi yang mampu mengubah suatu kaum yang semula jahiliyah menjadi insan-insan rohaniah berakhlakul-karimah. Ketika Benua Europa pada waktu itu berteriak mengenai perlunya pencerahan sebagaimana kini, suatu kaum yang telah berhasil memperoleh nur Ilahi ini telah berhasil menegakkan kedaulatan mereka pada seribuan tahun yang lalu. Ini disebabkan yang mereka miliki itu tidak hanya ilmu rohani belaka, melainkan juga diiringi dengan berbagai perkembangan dan kemajuan duniawinya. Sehingga pancaran sinar dunia Muslimin pada waktu itu mampu mencerahi sisa bagian dunia lainnya.
Akan tetapi sekarang ini, kaum Muslimin perlu memeriksa diri, mengapa kini nur Ilahi tersebut tidak lagi memancar dari kalangan mereka dan tidak pula mencerahi dunia. Alasannya sangat jelas: Ialah disebabkan mereka telah menolak seorang wujud yang Allah Taala telah jadikan sebagai pemantul sejati nur Rasulullah Saw di akhir zaman ini.
Ini pun saat yang tepat bagi kaum Ahmadi untuk menyadari, bahwa nur cahaya petunjuk hidayah Ilahi ini tak akan dapat diperoleh dengan hanya pernyataan kosong belaka, melainkan dengan cara mempelajari dan mempraktekkan berbagai falsafah ajaran dan tafsir Al Quran dari hamba dan pecinta sejati Rasulullah Saw, ialah Hadhrat Masih Mau'ud a.s..
Huzur bersabda, tak perlu mencari-cari kilauan gemerlap dunia, melainkan, carilah dan dapatkanlah sinar petunjuk hidayah yang ada di dalam Al Qur’an. Berbahagialah orang yang melaksanakan janji Bai’atnya.
Hadhrat Masih Mau'ud a.s. melukiskan kemuliaan derajat Rasulullah Saw sebagai berikut: ‘Aku senantiasa kagum terhadap kemuliaan derajat seorang nabi dari Arabia yang bernama Muhammad ini, ribuan shalawat, shalallahu alaihi wa salam atas beliaui, Tak ada orang lain lagi yang dapat menyamai derajatnya, dan tak akan ada orang yang dapat memperkirakan pencapaian derajat rohani beliau. Sungguh disesalkan bila kemuliaan derajat beliau ini tak dikenali sebagaimana seharusnya. Dia itulah sang juara yang telah berhasil menegakkan kembali Tauhid Ilahi yang telah lama menghilang dari bumi. Demikian cintanya kepada Allah, namun jiwanya pun dipenuhi rasa simpati kepada umat manusia. Oleh karena itulah, Allah yang sangat mengetahui rahasia qalbunya, mengangkat derajat beliau di atas segala nabi, dan menjadikannya sebagai yang awal dan yang akhir, serta mengabulkan segala keinginannya pada masa kehidupan beliau. Dia-lah sumber utama dari segala karunia; jika ada orang yang mendakwakan diri memiliki sesuatu keunggulan rohani tetapi tidak merujuk rasa syukur kepada beliau, adalah bukan manusia, melainkan buah asuhan Syaitan. Dia telah dikaruniai kunci untuk mencapai setiap ketinggian rohani; dan khazanah ilmu untuk memahami segala sesuatu. Ia yang tidak menerima sesuatu melalui keberkatan beliau, akan termahrumkan selamanya. Aku ini bukan siapa-siapa, dan tak memiliki apapun, maka aku termasuk orang yang tak bersyukur apabila aku tak mengakui bahwa keberhasilanku mempelajari ilmu Tauhid Ilahi adalah berkat Nabiyullah ini. Pemahaman akan keberadaan Allah Al Hayyi, Yang Maha Hidup adalah berkat Nabi yang sempurna dan melalui cahaya petunjuknya. Kehormatan hamba dapat bercakap-cakap dengan Allah sehingga Dia pun mempercayakan amanat-Nya kepada diri hamba, juga adalah berkat kemuliaan Nabi ini. Sinar cahaya petunjuk hidayah yang datang kepadaku adalah laksana benderangnya sinar matahari, lalu aku pun berhasil memantulkannya kembali hanya dikarenakan aku berhasil mencocokkan diriku dengannya’ (Haqiqatul Wahyi - Essence of Islam, Jilid I, hlm. 197-198).
Ikhtisar tulisan Hadhrat Masih Mau'ud a.s. ini hendaknya memadai untuk memuaskan orang-orang yang berfitrat baik diantara para penentang: Betapa Hadhrat Masih Mau'ud a.s. sangat memuliakan kedudukan Rasulullah Saw, dan memandang diri beliau tak ada artinya jika terpisah dari Rasulullah Saw.
Ayat 17 Surah Al Maidah yang telah ditilawatkan tadi mengatakan, ada dua macam nur pada diri Rasulullah Saw, dan Al Qur’an pun memliki dua aspek yang Allah Taala tetapkan sebagai khazanah untuk mendapatkan keridhaan-Nya, dan juga satu cara untuk memperoleh keselamatan. Jalan keselamatan adalah jalan yang dapat mengarahkan manusia kepada Allah dengan selamat. Terlindung dari pengaruh Syaitan, sehingga melalui jalan tersebutlah manusia mendapatkan nur-Ilahi. Jalan keselamatan sebagaimana yang dikaruniakan kepada seorang insan yang telah di beri petunjuk (Mahdi) oleh Allah Taala. Maka carilah keridhaan-Nya dan berjalanlah di atas jalan yang lurus, ’siratal mustaqim'.
Contoh yang paling istimewa dalam mencari ridho Ilahi setelah era Rasulullah Saw adalah sebagaimana yang diperlihatkan oleh para Sahabah. Ini berkat quwwat qudsiyyah dan gemblengan talim dan tarbiyat serta perbaikan akhlak yang dilakukan oleh Rasulullah Saw. Hal ini bukan saja berhasil mengeluarkan para Sahabah dari kegelapan kepada cahaya nur Ilahi, melainkan juga mendapat karunia sebutan radziAllahu anhum (Allah Taala telah ridho atas diri mereka).
Setelah berhasil memperoleh nur Ilahi, mereka pun menjadi contoh yang istimewa, dan Rasulullah Saw pun mengibaratkan mereka sebagai Bintang-bintang penunjuk jalan. Demikianlah betapa beruntungnya mereka yang memperoleh berkat langsung dari tangan pertama.
Kemudian, sesuai dengan janji Allah Taala untuk di akhir zaman, Dia mengutus hamba dan pecinta sejati Rasulullah Saw; menjadikan beliau sebagai cermin pemantul nur cahaya Rasulullah Saw. Dan sebagai buahnya, mereka yang memperoleh karunia menerima berkat langsung dari tangan pertama Hadhrat Masih Mau'ud a.s., qalbu mereka pun juga dipenuhi dengan nur cahaya Ilahi, serta diteguhkan langkah mereka di jalan siratal mustaqim.
Huzur bersabda, Allah Taala telah mengajari kita doa siratal mustaqim. Maka setiap diri kita hendaknya berusaha keras untuk memperoleh berkat dari nur cahaya petunjuk-Nya ini, sesuai dengan kapasitas masing-masing. Setengah orang diberi kelebihan, sedangkan sebagian lagi kurang. Namun, semuanya diberi nur. Tidak dikatakan semua orang harus dapat mencapai maqom rohani yang setinggi-tingginya, melainkan, yang penting adalah berusaha keras untuk itu. Hanya Allah Taala yang dapat menuntun manusia ke jalan siratal mustaqim. Namun, untuk dapat berjalan di atas siratal mustaqim itu, diperlukan adanya nur Ilahi, yang dapat diperoleh dari Rasulullah Saw dan juga dari Al Qur’an Karim.
Hadhrat Masih Mau'ud a.s. menerangkan perkara siratal mustaqim ini sebagai berikut: ‘Hendaknya dapat difahami, siratal mustaqim yang berpijak kepada kebenaran dan hikmah memiliki tiga aspek, yakni, aspek teoritis, aspek pelaksanaannya, dan aspek dampak perbaikannya kepada diri sendiri. Namun, ketiga aspek ini pun, masing-masingnya terkait lagi kepada tiga standar penilaian. Contohnya, aspek teoritis terkait pula dengan bagaimana pelaksanaannya terhadap haququllah, kepada haququl ibad, dan kewajiban terhadap diri sendiri. Sedangkan aspek pelaksanaan menuntut pelaksanaan tiap cabang dari tiga kewajiban utama tersebut, yakni, haququllah dalam aspek teori adalah senantiasa mengingat Allah sebagai Yang Maha Esa, Sumber dari segala kebaikan, Sumber dari segala keistimewaan, Yang awal dan Yang akhir, Suci dari segala kelemahan dan kekurangan, Sumber dari segala sifat yang sempurna, Dia-lah Wujud Tunggal yang menjadi tujuan ibadah. Itulah aspek teori siratal mustaqim yang terkait dengan pelaksanaan haququllah. Sedangkan aspek praktek pelaksanaannya meliputi: Itaat kepada-Nya dengan sikap ikhlas yang sempurna; tidak menyekutukan Tuhan dalam hal ketaatan kepada sesuatu; hanya memohon dan menghadapkan wajah kepada-Nya dalam mencari kesejahteraan, serta melarutkan diri dalam kecintaan kepada Tuhan. Inilah aspek pelaksanaan siratal mustaqim yang terkait dengan haququllah. Inilah kebenaran yang sempurna.
Adapun aspek teori siratal mustaqim yang merujuk kepada haququl ibad, adalah menerima keberadaan manusia sebagai kerabat sesama hamba Allah, yang dalam memperlakukan demikian timbul dari rasa tak ada yang dapat terbebas dari pandangan-Nya. Menghargai sesama makhluk ciptaan Tuhan disebabkan keberadaan mereka berasal daripada-Nya dan kita semua akan kembali kepada-Nya. Inilah pemahaman teoritis Tauhid Ilahi, yang menekankan kepada Dzat-Nya, Yang suci dari segala kelemahan, melainkan justru Sempurna dalam keberadaan-Nya.
Dan aspek pelaksanaan siratal mustaqim, yang terkait dengan haququl ibad, ialah beramal shalih dengan ikhlas sempurna, yang paling berfaedah dan sesuai dengan kebutuhan mereka. Inilah pelaksanaan Tauhid Ilahi, yakni semua sikap dan amal shalih yang diperbuat harus mencerminkan sifat-sifat Allah Swt.
o o O o o
modifyedByMMA / LA12/14/09
Blogged with the Flock Browser